Selasa, 10 Mei 2011

Tanpa Kekasihku -SHORT STORY-

aaaaaa... saya berhasil nyelesaiin satu cerpen lagi nih...
gatau deh bagus atau enggaknya... silahkan aja baca terusnya baru komentar,,, hehe


::Tanpa Kekasihku::

Alvin P.O.V
Sayup-sayup ku dengar suara tangisan seorang gadis yang sedang memanggil-manggil namaku, aku mencoba membuka mataku, dan bangkit dari tidurku. Tapi, sulit, sulit sekali. Seakan-akan aku memang tak punya daya apa-apa untuk melakukannya. Aku tak berdaya.

Sivia P.O.V
Aku hanya bisa menangis, menangis dan menyesali segala perbuatanku sebelum ini. Aku tak pernah menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini. Aku disini. Menanti kekasihku yang aku pun tak tahu nantinya dia akan sadar dan menjalani hidupnya kembali bersamaku. Ataukah sebaliknya. Dia pergi. Jangan sampai tuhan. Aku mohon.

Author P.O.V
Segala sesuatu yang sudah terjadi, takkan pernah mungkin bisa terulang kembali, lalu diperbaiki. Tak mungkin dan takkan pernah mungkin terjadi. Impossible.
Gadis itu terus-menerus menangis, menyesali apa yang terjadi, padahal jika dipikir-pikir. Itu bukan sepenuhnya salah dia. Ketika kejenuhan datang, manusia mana pun pasti ingin cepat-cepat pergi ke tempat, tepatnya suatu tempat yang bisa membuat rasa jenuh itu hilang. Lenyap. Begitu pun dengan Sivia, gadis manis yang lumayan mendapat banyak keberuntungan dalam hidupnya. Salah satunya yaitu memiliki kekasih sebaik Alvin. Lelaki yang selalu mau mengabulkan apapun yang Sivia ingin. Melakukan apapun yang Sivia minta. Ya… Alvin – Sivia, mereka adalah sepasang kekasih yang bisa dibilang.. um… SEMPURNA, nyaris tidak ada satupun kekurangan. Namun, siapa sangka.. sebuah ujian datang menghampiri keduanya.
“Alvin, jalan-jalan yuk… aku bosen nih dirumah terus, lagian kan kita lagi libur sekolah.. sayang kan kalo cuma di pake buat males-malesan dirumah doank” ujar Sivia pada kekasihnya, Alvin. Orang yang di ajak berbica lalu tersenyum. Senyuman yang bisa membuat wanita manapun gemetar jika melihatnya. Terlalu manis.
“jalan-jalan? Kamu maunya kemana?” respon Alvin sambil tersenyum.
“um… kemana ya? Ke puncak aja.. gimana?” usul Sivia.
“ke puncak? Boleh… besok, kita berangkat.. apapun yang kamu mau pasti aku setujuin kok, asal semuanya bisa bikin kamu senyum” ungkap Alvin tulus.
“makasih sayang” ucap Sivia sambil mengamit lengan Alvin manja.
Ya.. begitulah Alvin, Alvin yang baik hati, yang sayang.. bahkan sangat sayang Sivia, gadis beruntung yang kini menjadi kekasihnya.




*ESOK HARINYA*

Matahari sedikit demi sedikit namun pasti mulai memunculkan dirinya. Lalu bersinar. Untuk dunia. Sinar-sinar yang dipancarkan oleh matahari itu perlahan memasuki celah-celah jendela kamar Sivia.
“emm… hoam, udah jam berapa nih” tanya Sivia pada dirinya sendiri.
Dilihatnya sebuah jam dinding yang terpajang dikamarnya. Dengan susah payah dia memfokuskan pandangannya pada jam dinding tersebut. Dan lebih memfokuskan penglihatannya pada jarum-jarum yang menempel pada jam dinding tersebut. Tiba-tiba matanya terbelalak.
“gilaaa… udah jam 10 pagi, kenapa nggak ada yang bangunin gue sih? Ini lagi hape, kenapa alarmnya nggak berdering.. hari ini kan gue mau jalan-jalan sama Alvin.. arggh” Sivia mulai mengomel-ngomel tak jelas. Setelahnya dia bangkit dari kasur empuknya. Menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kurang lebih 30 menit. Sivia telah selesai bersiap-siap.
“sayang.. jadi kan perginya? Aku udah siap, jemput aku ya.. cepetan” SEND. Satu pesan singkat Sivia kirimkan kepada Alvin. Dengan terburu-buru ia keluar dari kamarnya, menuruni satu persatu anak tangga dirumahnya, hingga sampailah ia dilantai dasar rumahnya.
“aduh… anak ayah… udah cantik, mau kemana sayang?” tanya salah satu orang tua Sivia. Ya.. ayahnya.
“mau jalan-jalan ke puncak sama Alvin yah, bosen dirumah terus. Boleh kan yah?” ujar Sivia sopan.
“ke puncak? Nggak kejauhan?” tanya ayah Sivia.
“yah ayaaaah… puncak doank kok, boleh ya yah.. kan sama Alvin juga perginya” mohon Sivia pada ayahnya. Ayahnya terlihat sedikit berpikir.
“yaudah yah… izinin aja, kan Via lagi masa liburan. Itung-itung liburan kan” ucap ibunya Sivia tiba-tiba. Sambil memberikan teh hangat yang ia siapkan untuk suaminya. “nih yah.. tehnya..” ucap ibu Sivia lagi.
“tuh ayah… ibu aja setuju… masa ayah enggak.. ayolah yah.. boleh kan? Bentar lagi Alvin mau dateng yah.. masa mau dibatalin?” Sivia terus memohon pada ayahnya. Ayahnya berdehem pelan.
“baiklah.. ayah izinin kamu pergi ke puncak, tapi.. jangan pulang malem-malem ya” ucap ayah Sivia yang (sepertinya) terlihat TERPAKSA.
“makasih ayah” ucap Sivia sambil memeluk ayahnya erat.
TIN… TIN…
“ayah.. ibu, Via pergi dulu ya… itu kayaknya Alvin udah dateng” pamit Sivia.
“nggak sarapan dulu sayang?” tanya ibunya.
“nggak deh bu, nanti aja aku beli makanan di jalan sama Alvin” tolak Sivia. Lalu mengecup pundak lengan kedua orang tuanya.
“HATI-HATI YA SAYANG” teriak ayah Sivia.
“IYA AYAH…” balas Sivia tidak kalah kencang.


Sivia P.O.V
Yeay… senengnya hari ini mau jalan-jalan sama Alvin. Setelah sebelumnya aku pamit pada kedua orang tuaku. Kini aku berlari keluar rumah. Untuk menemui Alvin yang pastinya sudah menungguku.
“hay sayang..” sapa Alvin. Aku tersenyum.
“ayo silahkan masuk putri Sivia” ucap Alvin sambil membukakan pintu mobilnya untuk kumasuki. “makasih” ujarku sambil tersipu malu.
“siap?” tanya Alvin padaku. Aku mengangguk sebagai tanda jawaban ‘YA’ untuk pertanyaan yang ia tujukan padaku.
Sepanjang perjalanan Alvin menggengam tanganku erat. Erat sekali. Berbeda dari biasanya.
“sayang..” ucapku memecah keheningan antara kami.
“ya..” jawab Alvin.
“kamu baik-baik aja kan?” tanyaku lagi. Alvin mengangguk. Aku seakan-akan merasa ada yang berbeda dari diri Alvin. Tapi entah apa itu.

Alvin P.O.V
Sepanjang perjalanan. Aku mengenggam tangan kekasihku erat. Sangat erat. Entah mengapa, aku merasa takut kehilangan dia. Aku takut tak bisa lagi menggenggam tangannya. Seperti sekarang. Tak ada satu kata pun yang aku ucapkan untuk membuka pembicaraan. Yang aku inginkan, sekarang hanya bersamanya. Walaupun dalam diam. Asalkan tetap bersamanya.

Sivia P.O.V
Ehm.. aku ngerasa ada yang aneh dari Alvin. Tapi apa? Aku nggak tau. Sapatah kata pun tidak dia ucapkan padaku. Kecuali ketika aku bertanya padanya. Dia baru bersuara, itu pun hanya jawaban-jawaban singkat. Berbeda dengan Alvin yang aku kenal sebelumnya. Baru setengah perjalanan, hujan mengguyur bumi. Aku lalu melirik Alvin. Dia tetap serius menyetir mobil. Dan tetap menggengam tanganku erat.
CKIIITTTTT.. Alvin menginjakkan pedal rem mobilnya secara mendadak. Hampir saja aku dan Alvin menabrak pembatas jalan, yang jika tadi Alvin tidak menginjak pedal remnya, mungkin.. aku dan Alvin sudah berada dalam jurang yang gelap dibawah sana. Tapi, untung saja tuhan masih mau menyelamatkan aku dan Alvin.
“sayang.. hati-hati donk.. udah tau hujan, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya..” ujarku memperingati Alvin. Alvin lalu memandangku. “iya sayang.. aku kurangin kecepatannya” ujarnya sambil tersenyum miris. Aneh pikirku. Aku longgarkan tanganku dari genggaman tangannya, dan berniat untuk melepaskan tanganku dari genggamannya. Maksudku agar dia dapat lebih konsentrasi lagi dalam mengendarai mobilnya. tapi.. Alvin kembali mengeratkan genggamannya padaku. Hah.. sudahlah… mungkin memang maunya Alvin.



Alvin P.O.V
Huft.. hampir aja tadi mobil yang gue kendarain ini nabrak pambatas jalan. Kalau emang bener tadi terjadi.. gue gak bakalan mau maafin diri gue sendiri kalau sampai terjadi apa-apa sama gadis gue ini. Sivia.. gue sayang banget sama loe. Rasanya gue pengen bareng loe terus. Sampai akhir hayat gue. Bahkan kalo perlu kita mati pun bersama. Husss… apa sih yang gue pikirin.. oke, gue coba tarik nafas sedalam mungkin, nyoba kembali buat lebih konsen menyetir.
“sayang.. maaf ya..” ucapku seraya meminta maaf pada kepada Sivia.
“buat?”
“aku udah nggak hati-hati..” sesalku.
“iya.. nggak apa-apa, tapi jangan gitu lagi ya, aku takut..” ucapnya sedih.
“oke, aku… sa..yang kamu” ucapku terbata-bata, nggak tau kenapa cuma mau bilang ‘sayang’ aja rasanya sulit banget. Serasa ada yang ngeganjel. Bukan, bukan berarti gue udah nggak sayang lagi sama gadis gue ini. Tapi, argh… susah, susah buat gue definisiin apa yang lagi gue rasain sekarang dengan kata-kata.

Author P.O.V
Rintik-rintik air hujan yang jatuh, semakin lama semakin menderas, menimbulkan jalanan aspal mana pun menjadi licin dibuatnya. Tanpa terkecuali jalan aspal yang kini sedang Alvin dan Sivia lintasi. Belum lagi suasana jalanan puncak yang dingin. Berkabut dan yaaa… lumayan sepi. Membuat siapa pun yang melintasinya merasa aman-aman saja untuk berkendara dengan kecepatan diatas normal. Yap.. mengebut.
“sayang.. kalo kamu ngantuk, tidur aja.. nanti kalo udah sampe, aku bangunin kok” tawar Alvin pada Sivia.
“emh.. nggak ah, aku nggak pengen tidur.. pengen nemenin kamu aja” tolak Sivia dengan halus. Alvin yang mendengarnya lalu tersenyum.
“aku pengen sama kamu terus… terusss, sampai akhir hayat aku, jangan tinggalin aku” ucap Alvin lirih.
“kamu apaan sih Vin? Aneh banget tau nggak? Udah nyetir lagi.. ” Sivia sedikit emosi. Dia tidak habis pikir kekasihnya akan berkata seperti itu. Seperti mau pisah saja. Ah.. sudahlah.

Sivia P.O.V
Nggak. Nggak salah lagi. Alvin bener-bener aneh hari ini. Ngomong aja ngelantur. Kenapa sih kamu? Aneh. Serius.
Aku alihkan pandanganku yang sedari tadi melihat kearah jalanan, kini merubah objek pandanganku. Yup.. aku memilih untuk memandang Alvin. Raut wajahnya. Tenang. Damai. Selalu bisa bikin siapa pun nyaman ketika berada di dekatnya. Seperti aku. Tapi… kali ini aku melihat ada gurat-gurat yang aneh pada wajahnya. Entah apa itu.
“sayang.. jangan ngeliatin aku kayak gitu ah.. jadi GR nih.. hehe” tegur Alvin.
“am.. eh.. anu.. lagi pengen mandang wajah kamu. hehe..” jawabku seadanya.
“haha.. kamu lucu..” ucap Alvin sambil mengacak poniku.
“ah.. Alvin, jadi acak-acakan kan” ungkapku kesal sambil membereskan poniku. Alvin terlihat sedang menarik nafas panjang. Beberapa detik kemudian dia memandangku. Tatapan yang asing. Seperti bukan Alvinku.
“sayang, kalo misalnya aku udah nggak ada, kamu janji yah.. buat tetep dan terus jalanin hidup kamu seperti biasa. Penuh tawa tanpa air mata” ucapnya.
“ngelantur kamu ya? Pake ngomongin mati segala.. aku gak suka..” marahku.
“maaf, tapi aku mau kamu janji.. pliss janji, buat aku” Alvin memohon padaku.
“emm… iya aku janji..” Alvin tersenyum. “jangan pernah tinggalin aku.. aku sayang banget sama  kamu” kataku. Alvin lalu menatapku. “pasti” katanya. Entah mengapa ucapannya itu kurasa penuh dengan dusta. Obrolan antara aku dan Alvin memang terasa sedikit janggal. Pasalnya tujuan kami pergi ke puncak adalah untuk menghilangkan kejenuhan. Bukan untuk membicarakan perihal kematian.

Alvin P.O.V
Kenapa sih gue? Hah? Kenapa? Kenapa bicara gue jadi gini? Aneh banget kedengerannya. Berkali-kali aku tanya pada diriku sendiri. Tentang apa yang sedang terjadi padaku ini. Tapi… nggak aku temuin jawabannya. Masih dan pengen selalu bareng dia. Selamanya.

Author P.O.V
Keheningan kembali tercipta antara Alvin dan Sivia. Masing-masing dari mereka sedang berkecamuk dengan pertanyaan dalam pikirannya masing-masing. Tak ada yang mau memulai untuk memecahkan keheningan yang kini tercipta diantara mereka (lagi).
DDDRRRRRTTTTTT.. Handphone milik Alvin bergetar, menandakan adanya seseorang yang menghubunginya. Alvin mengeluarkan handphonenya dari saku celananya. Belum sempat Alvin melihat apa yang tertulis pada layar handphonenya. Handphone miliknya telah lepas dari genggamannya. Jatuh. Dengan tangan kiri yang sedari tadi ia gunakan untuk menggenggam Sivia, ia mencoba meraba-raba bagian alas kaki mobilnya. Mencari handphonenya yang jatuh. Mengalihkan pandangannya, yang sedang focus pada jalanan menjadi focus mencari handphonenya. “ini dia” ucapnya pelan. Belum sempat Alvin kembali duduk seperti posisinya semula. Dari arah berlawanan terlihat sebuah truk pengangkut bambu melaju dengan kecepatan tinggi. Alvin yang sedang tidak focus langsung membanting setirnya kearah kiri menghindari truk tersebut. Tapi na’as. Mobil yang ditumpangi Alvin dan Sivia melewati pembatas jalan dan apa yang tadi ditakuti pun terjadi. Mobilnya memasuki jurang.
“a.. al… vin” lirih Sivia lalu tak sadarkan diri.

Sudah 3 hari lamanya Alvin tidak sadarkan diri. Terkulai lemah di rumah sakit. Koma. Sivia yang ikut dalam kecelakaan itu hanya mengalami luka-luka ringan pada lengan dan wajahnya. Berbeda jauh dengan Alvin yang kepalanya terbentur begitu hebat saat kecelakaan. Dan hasilnya. Kritis. Keadaan Alvin begitu krtitis. Kini Sivia hanya bisa menangis, meraung-raung dan menyesali apa yang telah terjadi.
“Alvin… bangun… ayo bangun” tangis Sivia sambil menggoyang-goyangkan lengan Alvin.
“seharusnya waktu itu aku nggak usah minta kamu buat nemenin aku liburan ke puncak. Seharusnya waktu ayah ngelarang aku buat pergi, aku nurut. Seharusnya semua ini nggak terjadi. Seharusnya sekarang kamu masih sama aku, masih bisa bikin aku senyum ketawa bareng kamu.. seharusnya…” tangisnya pecah dia menyesali semuanya. Tapi siapa yang bisa memperbaiki kesalahan yang telah terjadi? Siapa? Tak akan ada, kecuali yang maha kuasa.
“udah Vi… udah… jangan loe sesalin terus apa yang udah terjadi.. ini bukan sepenuhnya salah elo..” ucap Cakka –kakak Sivia- sambil memeluk Sivia.
“tapi kak, coba aja waktu itu Via nggak usah minta liburan ke puncak, pasti semua ini nggak akan pernah terjadi” ucap Sivia sambil terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri.
“udah Vi,, udah.. udah gue bilang ini bukan salah elo.. mungkin ini udah jalannya” ungkap Cakka bijak.
“gue nggak bisa kak. Gak bisa tanpa Alvin. Gimana kalo misalnya Alvin pergi? Pergi ninggalin gue buat selamanya. Gue gak mau. Gue takut. Gue gak bisa jalanin hidup gue tanpa dia. Gue butuh Alvin kak” badan Sivia bergetar. Tangisnya semakin tak terbendung lagi.
“Alvin… cepetan bangun.. gue kangen elo.. Alvin” lirih Sivia. Cakka yang merasa iba dengan adik kesayangannya ini hanya bisa memeluknya. Sambil terus-terusan menenangkannya.
“loe makan dulu yah Vi, gue udah beliin makan nih buat loe. Kan udah sejak tiga hari yang lalu loe belum makan sama sekali. Loe cuma nangis terus.” Ucap Cakka sedikit memaksa.
“nggak kak, gue gak mau makan. Gue pengennya Alvin. Gue pengennya dia sadar kak. Sadar. Cuma itu” Cakka tersenyum lirih.
“Alvin bakalan sadar kok. Dan loe harus tetep makan Vi, coba loe pikir, kalo misalnya Alvin sadar, terus gara-gara elo nggak makan. Malah gantian elonya yang sakit. Kalo gitu gimana loe bisa ngobrol sama Alvin?” rayu Cakka. Sivia sedikit berpikir sebelum akhirnya setuju untuk makan. Senyum Cakka mengembang. Dengan telaten ia menyuapi sendok demi sendok bubur ke dalam mulut adiknya itu.

Hingga kini sudah terhitung 2 minggu satu hari, atau 15 hari Alvin tak sadarkan diri. Tetap menutup matanya. Entah apa yang sedang ia mimpikan sampai-sampai tidak mau untuk membuka matanya selama itu. Dan masih dengan setia, setiap harinya Sivia selalu menjenguk Alvin. Sepertinya dia tidak ingin jika ada perubahan sekecil apapun yang terjadi pada Alvin tapi tidak ia ketahui. Dia selalu ingin mengetahui perkembangan kesehatan Alvin. Sekecil apapun itu.
“Vin, bangun yah… bangun.. kamu certain selama 15 hari ini kamu mimpi apa? Sampai-sampai kamu lebih milih mimpi kamu ketimbang dunia nyata kamu. Aku bener-bener kangen kamu” ucap Sivia sambil menangis. Ia genggam lengan lelakinya itu. Ia berharap lengan lelakinya itu akan bergerak saat dia sentuh. Seperti pada sinetron-sinetron yang sering ia tonton. Tapi sayang, itu tidak terjadi pada Alvin. Dia masih tetap diam. Menutup matanya dan tak bergeming sedikit pun.


Alvin P.O.V
Aku masih bisa mendengar suaranya. Tangisnya. Lembut sentuhannya. Tapi.. aku tidak bisa membalasnya. Sekuat apapun aku mencoba membuka mataku. Mataku ini takkan pernah terbuka. Aku lelah terus-terusan berada dalam mimpi yang tak kunjung usai ini. Aku rindu Sivia. Aku duduk dalam mimpiku. Duduk disuatu tempat berwarna putih. Sejauh apapun aku memandang hanya ada hamparan warna putih yang luas. Aku tidak tahu ada dimana aku sekarang. Aku benci disini. Membosankan. Tiba-tiba saja ada cahaya datang menghampiriku yang terangnya melebihi cahaya yang paling terang yang pernah aku lihat di dunia. Aku menyipitkan mataku yang memang sudah tercipta sipit ini. Cahaya itu berbicara padaku. Aku terlibat tawar-menawar dengannya. Akhirnya dia sepakat untuk memberikan ku waktu beberapa menit yang akan aku gunakan untuk menghibur gadisku yang masih menunggu aku sadar disana. Setelah cahaya itu pergi. Aku mencoba untuk menggerakkan lenganku. Masih terasa berat. Tapi aku berusaha. Ku buka kelopak mataku sedikit demi sedikit. Kulihat gadisku sedang tertidur pulas di samping ranjangku. Aku tersenyum. Aku mencoba mengangkat lenganku untuk menyentuh ujung kepalanya. Ku usap-usap lembut. Sangat tidak tega untuk aku meninggalkannya.

Sivia P.O.V
Kulihat wajah Alvin yang tertidur dengan tenang. Tanpa terasa kantuk mulai datang menghampiriku. Aku tertidur disamping ranjang Alvin. Belum terlalu lama aku tertidur. Ujung kepalaku seperti ada yang menyentuh. Kucoba meninggalkan rasa kantukku. Kubuka mataku.
“Alvin.. kamu udah sadar?” ucapku bersemangat. Alvin tersenyum.
“sebentar, aku mau panggilin dokter ya..” kataku lagi.
“nggak.. gak usah sayang.. aku nggak butuh dokter, aku butuhnya kamu” ucapnya sambil mengenggam lengan kananku.
“tapi kan…”
“udah Vi, aku butuhnya kamu. Bukan orang lain oke” aku menundukkan kepalaku.
“hey sayang.. kenapa jadi diem?” tegur Alvin.
“aa.. aku mau minta maaf sama kamu.. semua ini salah aku, kalau aja waktu itu aku nggak usah minta liburan. Dan kalau aja…”
“ssssttttt” Alvin mendaratkan jari telunjuknya ke bibirku.
“nggak, aku nggak pernah nyalahin kamu sama apa yang terjadi sama aku. Ini semua salah aku, aku kurang hati-hati menyetir. Aku yang salah Vi” ungkapnya. Aku lalu mendekapnya.
“Aa… Alvin… jangan tidur lagi.. jangan tinggalin aku.. aku nggak bisa kalo nggak ada kamu disisi aku.. aku sayang kamu.. aku butuh kamu buat ngisi hari-hari aku” air mataku kembali menganak. Alvin mengusap lembut rambutku.
“tapi… aku nggak bisa jagain kamu lagi Vi.. aku udah nggak bisa ada buat kamu lagi.. maafin aku” ucapnya lirih. Aku lalu melepaskan diri dari tubuhnya.
“ngomong apa sih kamu? Kamu udah nggak sayang lagi sama aku? Kamu udah nggak mau lagi  bareng aku? Maksud kamu gitu?” tuduhku.
“bukan Vi, bukan itu maksud aku.. waktu aku hidup di dunia ini udah habis.. nggak ada lagi waktu untuk aku bikin kamu bahagia.. maaf” aku kembali menangis. Entah mengapa aku merasa ucapan Alvin itu bukan main-main. Ia serius.
“janji kan Vi, mau tetep jalanin hidup kamu kayak biasanya.. tetep ceria” aku menatapnya.
“janji?” tanyanya lagi.
“tap…”
“udahlah Vi, kamu pasti bisa. Janji yah sama aku” aku mengangguk lemah. Alvin mengenggam tanganku erat.
“Vi, udah saatnya aku pergi.. jaga diri kamu baik-baik. Aku sayang kamu” ucapnya lalu menutup matanya untuk selamanya. Ya.. Alvin pergi dia ninggalin aku. Ninggalin aku buat selamanya. Untuk menghadap yang maha kuasa. Tangisku pecah. Aku tak percaya Alvin harus ninggalin aku secepat ini. Alvin.
Tak akan pernah ada yang dapat tau pasti kapan ajal akan menjemput seseorang untuk memaksa meninggalkan raganya. Dan berjalan menuju kehidupan abadi. Akhirat.

Author P.O.V
Langit begitu gelap. Hujan tak kunjung reda. Gundukan tanah berwarna coklat itu baru saja ditinggal pergi oleh orang-orang yang datang melayat si empunya. Seorang gadis ditemani seorang laki-laki disebelahnya terus-terusan menangis. Masih tidak terima mungkin. Um.. bukan mungkin, tapi memang tidak terima.
“Alviiiiiiiiiiiiin….. kenapa loe harus ninggalin gue disini? Gue masih butuh elo…. Gue gak pengen hidup sendiri tanpa elo.. hidup gue sia-sia tanpa hadirnya elo disisi gue.. Alvin…” rengek gadis tersebut yang tak lain dan tak bukan adalah Sivia, gadis yang ditinggal pergi oleh kekasihnya, Alvin.
“kita pulang yuk Vi, udah sore.. masa elo mau terus-terusan nangis disini. Lagi pula hujan Vi, gue takutnya loe malah sakit” ucap Cakka yang sedari tadi menemani Sivia.
“nggak kak, gue masih pengen disini, masih pengen nemenin Alvin. biarin gue sakit, kalo perlu gue mati aja sekalian. loe pulang duluan aja” tolak Sivia.
“ngomong apaan sih loe Vi? Asal banget! nggak, gue bakalan nungguin elo sampai loe mau pulang” Sivia menghela nafas.
“oke kak, kita pulang sekarang” senyum Cakka mengembang. “yuk”

3 hari sudah Sivia menjalani hidupnya tanpa seorang ‘Alvin’ disisinya. Hidupnya berjalan kacau. Semenjak pulang dari pemakaman Alvin, dia terus-terusan mengurung dirinya dikamar. Tidak mau makan. Hanya terus-terusan menangis.
“Vin, gue nggak sanggup. Gue pengen ikut pergi bareng elo. Bukannya dulu elo bilang kita sehidup semati kan. Tapi kenapa loe malah ninggalin gue duluan” keluh Sivia.

Langit begitu gelap, hujan juga tak juga reda.
Ku harus menyaksikan cintaku terenggut tak terselamatkan.
Ingin ku ulang hari, ingin ku perbaiki.
Kau sangat kubutuhkan, beraninya kau pergi dan tak kembali.

Sayup-sayup terdengar Sivia yang bernyanyi dengan lirih. Mengingat kejadian saat dia meminta Alvin untuk pergi berlibur bersamanya.

Dimana letak surga itu? Biar kugantikan tempatmu denganku.
Adakah tangga surga itu? Biar kutemukan untuk bersamamu.
Ku biarkan senyumku menari di udara.
Biar semua tahu.. kematian tak mengakhiri cinta…

Sivia terus bernyanyi dengan perasaan yang tak karuan. Dia pikir, tidak ada gunanya dia disini bila tanpa kekasihnya, Alvin.

Apalah artinya hidup tanpa kekasihku.
Percuma ku ada disini.

Entah dari mana Sivia mendapatkan pisau cutter yang saat ini dia pegang. Pisau cutter yang ia pegang itu, ia arahkan pada urat nadi di tangan kirinya. Pelan-pelan namun pasti pisau cutter itu melukai lengan lalu memutuskan urat nadi Sivia.
“Alvin… aku datang”

-TAMAT-

Hiyaaaa… cerpennya selesai.. ini ceritanya aku mau bikin yang sad ending gitu.. tau deh jadinya malah gini… GATOT WOY… parah banget-___-̎
Maaf ya kalo jelek, mohon kemaklumannya aja.. kan saya cuma penulis amatiran gitu.. yaudah silahkan kritik dan sarannya.. apa yang kurang? *pasti banyak -__-*
Oia, mungkin ini cerpen terakhir yang saya buat. Hiks :(
Makasih yang udah mau nyempetin baca..
Twitter : @JeaneMagami :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar